Rabu, 30 Juli 2008

Sains dan Teknologi Kurang ''Sexy'' bagi Parpol Indonesia

Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi

Agaknya isu sains dan teknologi kurang sexy bagi partai politik Indonesia, sampai tak dilirik sama sekali. Atmosfer kampanye menjelang Pemilu 2009 mulai terendus. Dari sekian lama kita menonton kampanye politik, adakah partai yang memberi tempat bagi sains dan teknologi? Nyaris tidak sama sekali. Perlukah kita menghadirkan era Renaissance di Indonesia?

Ketika partai-partai itu berlomba-lomba menawarkan program-program, sektor ekonomi, politik, dan hukum menjadi primadona. Mengenai posisi agama, ini sudah lama menjadi identitas bagi sebagian partai politik. Program-program pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah, sudah ditawarkan sebagai bagian dari persaingan antar partai. Belakangan ini, isu lingkungan dan jender juga sudah masuk ke mimbar-mimbar kampanye. Tetapi sains dan teknologi tetap belum. Apa yang sebenarnya terjadi?

Belum Dihargai

Sebuah jawaban yang mungkin kita lontarkan adalah: ini persoalan sikap, bahwa masyarakat kita jelas belum menghargai sains dan teknologi . Tentu persoalan menghargai atau tidak menghargai, ini persoalan pilihan dan aspirasi, yang perlu kita hormati. Kalau masyarakat kita memang tidak beraspirasi atas sains dan teknologi , tidak menginginkan penguasaan sains dan teknologi , ini pilihan yang kita perlu hormati.

Yang menjadi pertanyaan, apa yang membuat mereka tidak melihat arti penting sains dan teknologi sementara kita meyakini bahwa sains dan teknologi itu sumber kemajuan bangsa? Apakah kita, masyarakat akademik, sudah mampu melihat dengan jelas apa yang masyarakat awam tidak bisa lihat? Ataukah lensa yang kita kenakan untuk melihat sains dan teknologi berbeda dari lensa yang mereka kenakan?

Kalau kita coba berbincang-bincang dengan saudara-saudara kita, mulai dari pengusaha sampai buruh tani, dari pejabat di daerah sampai para tokoh agama kita akan dapati bahwa lensa mereka memang berbeda. Mereka melihat dan menilai sains dan teknologi dari sisi kemanfaatannya, dalam konteks kehidupan mereka. Sementara kita, masyarakat akademik, cenderung melihat sains dan teknologi dari sisi prestisi kemajuan sains dan teknologi itu sendiri. Kita puas kalau kita menjadi bagian dari kemajuan sains dan teknologi lewat penelitian yang kita geluti.

Dari argumen ini saya ingin mengatakan bahwa sains dan teknologi akan segera menjadi bagian dari kampanye-kampanye partai politik bila masyarakat telah melihat faktor manfaat sains dan teknologi sendiri. Ketika masyarakat melihat kemanfaatan sains dan teknologi , pastilah mereka mulai menghargai dan beraspirasi atas sains dan teknologi ; partai-partai politik akan berusaha ‘membeli’ hati masyarakat dengan menawarkan program-program sains dan teknologi dalam kampanye mereka. Implikasi dari ini dukungan politik atas sains dan teknologi seperti ini adalah alokasi sumber-sumber daya bagi pengembangan sains dan teknologi . Dan dalam situasi politik sains dan teknologi seperti inilah―situasi di mana sains dan teknologi menjadi aspirasi politis, saya yakin sains dan teknologi di negara kita akan maju pesat, tidak terlalu dipengaruhi siapa pun yang menjabat menteri negara riset dan teknologi.

Pendekatan

Ada dua pendekatan yang mungkin ditempuh untuk mencapai ini. Pendekatan pertama adalah kita meletakkan aktivitas pengembangan dan aktivitas pemanfaatan sains dan teknologi dalam dua jalur yang terpisah. Aktivitas pengembangan sains dan teknologi dilaksanakan oleh para akademisi di perguruan perguruan tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga non-pendidikan. Aktivitas pemanfaatan sains dan teknologi dilaksanakan oleh segenap praktisi di area pemerintahan, di lingkungan bisnis, dan di arena-arena lain. Yang menjadi persoalan di sini adalah pemanfaatan sains dan teknologi dalam situasi-situasi yang spesifik sering kali membutuhkan sains dan teknologi spesifik juga, yang dikembangkan dengan cara yang khusus.

Di kampus, ketika seorang peneliti merumuskan masalah kontrol, biasanya dimulai dari model-model: matematis, diagramatis dan miniatur berskala laboratorium. Pemodelan, apa pun bentuknya, memerlukan abstraksi. Setiap abstraksi melibatkan penyederhanaan: informasi yang tidak dianggap esensial dibuang, yang esensial dipertahankan. Kemudian aturan-aturan kontrol disusun berdasarkan model tersebut, dan diujicoba menggunakan simulator. Tetapi langkah-langkah seperti ini sering kali tidak efektif. Para insinyur di industri tidak teryakinkan dengan apa-apa yang kita lakukan di kampus. Kita pun mengalami kesulitan mengukur apakah yang kita usulkan sudah sesuai dengan konteks industri, karena kita tidak berpeluang untuk mengujicobanya dalam lingkungan operasional di industri.

Bukan hanya kita yang mengalami kesenjangan pengetahuan demikian. Di negara-negara berindustri maju pun mereka mengalami kesulitan membawa rancangan sistem kontrol dari kampus ke industri. Masyarakat kontrol pun terbelah ke dalam masyarakat kontrol akademik dan masyarakat kontrol industrial.

Pengetahuan akademik yang dikembangkan di kampus cenderung general, mengandung abstraksi-abstraksi, kurang mengandung informasi spesifik yang kontekstual. Ini perlu interface. Pendekatan link-and-match tidak akan efektif bila didasarkan interaksi diujung . Jadi, membawa sains dan teknologi ke area pemanfaatan memerlukan banyak pekerjaan dan biaya, yang bisa lebih besar dari upaya untuk mengembangkan sains dan teknologi itu sendiri.

Pendekatan ke dua adalah tidak memisahkan aktivitas pengembangan sains dan teknologi dan aktivitas pemanfaatan sains dan teknologi . Tidak dipisahkan, tetapi juga tidak dipertukarkan: perguruan tinggi tidak menjadi industri, sebaliknya juga tidak, Keduanya bersandingan, interaktif, dan kolaboratif.

Dalam pendekatan yang ke dua ini, pada prinsipnya dua pola pembelajaran dikoordinasikan: learning by making dan learning from using. Apakah pendekatan interaktif ini akan efektif? Mereka yang pernah mencoba berkolaborasi dengan industri mengenali persoalan yang timbul dari pendekatan ini. Bagaimana pun para pelaku industri tidak mengutamakan sains dan teknologi yang lebih maju, apa lagi sains dan teknologi garda depan.

Dalam sistem ekonomi yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah, pengelolaan industriindustri ditentukan melalui keputusan-keputusan politik. Cina dalam era 1970-an mengadopsi sistem ekonomi seperti ini. Pemerintah menentukan sektor industri yang dipandang strategis untuk misi negara, dan menentukan integrasi pengembangan sains dan teknologi ke dalam industri dan ekonomi. Ini menghasilkan kemajuan sains dan teknologi dan kemanfaatan sains dan teknologi , tetapi dalam percepatan yang terbatas. Persoalannya adalah tidak ada kompetisi. Tidak ada variasi-variasi dan seleksi-seleksi atas sains dan teknologi . sains dan teknologi tertentu yang dipilih pemerintah akan berkembang, sains dan teknologi yang lain tidak. Selain itu, pelaku sains dan teknologi menjadi terbatas pada mereka yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Partisipasi masyarakat minimal.

Dalam ekonomi yang dihela melalui mekanisme pasar, perkembangan industri dipengaruhi oleh keputusan-keputusan para pelaku pasar. Interaksi antara para pelaku pasar akan menentukan topik sains dan teknologi mana yang dikembangkan dan yang tidak. Dalam situasi persaingan pasar yang fair, variasi-variasi sains dan teknologi akan timbul, dan konsumen akan terlibat dalam menetapkan mana yang lebih baik. Tetapi pasar tidak bisa efisien dalam mempromosikan sains dan teknologi. Para investor tidak akan mengalokasikan modal pada aktivitas yang tidak meningkatkan efisiensi. Di sini intervensi pemerintah menjadi perlu. Salah satu peran penting adalah mendorong interaksi industri dan perguruan tinggi, membiayai pengembangan sains dan teknologi di fasa pra-kompetitif, dan memberikan insentif fiskal. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi pusat perhatian para penggagas konsep.

Renaissance di Indonesia

Dengan penalaran sederhana, izinkan saya mengatakan bahwa bukan sains dan teknologi yang menjadi katalisator perubahan yang revolusioner di Eropa Renaissance. Argumennya sederhana. sains dan teknologi bukan bagian kebudayaan Eropa di Zaman Kegelapan. Tidak mungkin sains dan teknologi menjadi faktor perubahan kalau ia sendiri belum ada. Menurut apa yang saya bisa pahami, katalisator perubahan itu terletak pada apa-apa yang berada dalam Renaissance.

Melalui Renaissance, posisi manusia naik peringkat dari mahluk berdosa yang dibuang dari surga, menjadi Second Creator. Sains dari awal berkembangnya sudah berwatak teknologis, karena ini berkenaan dengan hak manusia untuk menguasai dan mengendalikan alam. Teknologi juga berwatak saintifik untuk alasan yang sama, untuk menunjukkan daya kreasi manusia sebagai Second Creator.

Faktor yang menarik ditengok dari Renaissance adalah bagaimana sains dan teknologi diintegrasikan ke dalam ideologi dan kebudayaan bangsa Eropa. Ketika ini terjadi dan stabil, sains dan teknologi menjadi bagian dari ‘keimanan’ mereka, menjadi bagian penting dari world view dari para skolar dan filosof, politisi, penguasa, pengusaha, dan juga masyarakat awam. Dengan kata lain, melalui Renaissance sains dan teknologi sudah menyatu dengan ‘darah dan daging’ kebudayaan Eropa, mengganti kebudayaan yang lama. Ketika sains dan teknologi dalam wujud ideologi menjadi kebudayaan, barulah sains dan teknologi itu sendiri berkembang ke dalam wujud yang material, melalui industrialisasi.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius. Pancasila dan UUD 1945 menegaskan hal ini. Posisi agama bagi kita berbeda dengan posisi agama bagi Eropa Modern. ertanyaannya, bagaimana kita memposisikan sains dan teknologi ? Selama sains dan teknologi masih bermakna nstrumental―sebagai faktor produksi, atau bermakna simbolis―sebagai lambang kemajuan, maka kemajuan dan kemanfaatan sains dan teknologi tidak akan berjalan kontinu dan intensif. sains dan teknologi tidak akan terintegrasikan ke dalam upaya memajukan bangsa. Tantangan kita, karenanya, adalah mereposisi sains dan teknologi , sehingga menjadi bagian dari kebudayaan dan perubahan kebudayaan kita. Bagaimana ini bisa dilakukan?

Pertama, kita―masyarakat akademik―perlu bersama-sama dengan masyarakat, terlibat dalam polemik dan perdebatan untuk membangun makna tentang alam, tentang masyarakat dan manusia, dan hubungan ini semua dengan agama dan Tuhan. Ini dilakukan supaya kita mendapatkan pemahaman yang harmonis akan masyarakat, manusia, pengetahuan, teknologi, dan Agama. Kita pernah memulai ini dengan penyandingan sains dan teknologi dan keimanan dan ketqwaan. Tetapi kita perlu berupaya lebih dari itu. Kita sebiknya tidak memulai dengan menekankan doktrin, tetapi menekankan pencarian, eksplorasi, dan penghayatan. Dialog sains dan agama bisa penting, tetapi bukan untuk menyatukan modernism dan agama. Yang kita perlukan mungkin semacam modernitas relijus. Ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ para skolar Indonesia, memerlukan upaya jangka panjang dan visioner.

Dalam konteks isu-isu yang saya kemukakan terdahulu, saya melihat perguruan tinggi berpotensi untuk berperan secara fundamental. Kalau langkah-langkah perubahan kebudayaan itu ingin kita tempuh, perguruan tinggilah yang menjadi agen penghela, meski juga perlu didukung oleh berbagai pihak. Tetapi di sini perguruan tinggi perlu berperan lebih dari yang konvensional, lebih dari sebatas penjaga disiplin-disiplin ilmu. Perguruan tinggi perlu menjadi agen pengetahuan itu sendiri. Agen pengetahuan berperan bukan hanya pada transfer sains dan teknologi ke mahasiswa dan pengembangan sains dan teknologi secara konvensional, tetapi menjadi penghela perubahan kebudayaan bangsa Indonesia menjadi kebudayaan yang intensif akan pengetahuan.

Agen pengetahuan bertugas bukan untuk menjaga ‘kotak-kotak’ disiplin ilmu, melainkan menanamkan kecintaan akan pengetahuan dan kebenaran ke dalam kebudayaan kita. ‘Kotak-kotak’ disiplin ilmu kadang-kadang memerangkap kita sehingga kehilangan esensi dari academic freedom. Pengembangan sains dan teknologi secara lintas dan trans-disiplin memberikan kita ruang-ruang untuk maneuver, memberikan kita daya adaptasi, dan akhirnya membawa pada sintesis pengetahuan yang baru, sains dan teknologi yang baru. (NETSAINS.COM/ humasristek)

3 komentar:

  1. Mmm.. Pak KK punya situs semi-blog. Lihat deh kiprahnya melalui halaman semi-blognya: www.ristek.go.id/makalah-menteri

    Thanks!
    Amirfm

    BalasHapus
  2. antara politikus dan peneliti itu tidak bisa bergabung. namun jika parpol saja tidak mau melirik sains bagaimana nanti siapa penguasa negri ini yang akan memperhatikan perkembngan sains di negeri ini. jdi wajar saja jika keilmuan di negeri ini lamabat dalam berkembag. namun bagaimanapun indonesia qt harus tetap cinta dengan bumi pertii ini. nasionalisme g bleh luntur smapai akhir hayat. semoga para saintis di bumi pertiwi ini terus berkarya dan berguna bagaikan gula, gula itu tdak pernah disebut tapi manfaatnya banyak sekali..pernah ta kita dengar teh gula, kopi gula yang ada kan teh manis kopi manis gto..jdilah sperti gula yang terus bermanfaat tanpa pernah berharap disebut namanya..

    BalasHapus
  3. saintist biasanya terbiasa dengan obyektifitas, tapi kalo politik penuh dengan manipulasi dan intrik, tidak cocok untuk para ilmuwan.

    BalasHapus

Isi Komentar Anda Ya !

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Elf Coupons