Rabu, 30 Juli 2008

Mimpi Mega-Minyak di Aceh

Klaim BPPT menemukan potensi minyak raksasa dipertanyakan. Jepang digandeng untuk membuktikannya.

Berkas fotokopi dengan kop Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi masih tersimpan di tas berwarna hitam. Jana T. Anggadiredja, pemilik tas tersebut, telah menyampaikan berkas yang asli kepada Profesor Asahiko Taira di Tokyo, Jepang, Kamis pekan lalu. “Beliau setuju dengan proposal yang kami ajukan,” ujar Profesor Jana, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam.

BPPT memang mengusulkan kepada pentolan konsorsium Integrated Ocean Drilling Program itu agar melakukan pengeboran di lokasi gempa Aceh dengan kapal riset Chikyu. Kapal milik Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec) ini dipilih karena mampu mengebor di laut sampai kedalaman 7.500 meter dari dasar samudra. Dengan kapal ini BPPT ingin membuktikan ada-tidaknya potensi 320 miliar barel hidrokarbon di perairan barat Aceh.

Selain menjadi koordinator konsorsium, Profesor Taira adalah petinggi Jamstec. Dalam rencana penelitian lembaga ini, tahun depan Chikyu bakal mengebor di perairan Selat Makassar. Menurut Jana, pihaknya mengusulkan agar Chikyu juga melakukan aktivitas yang sama di perairan antara Pulau Simeulue dan pesisir barat Aceh. “Mereka sedang membahas rincian pembiayaannya,” ujar Jana.

Dalam kunjungannya itu, Jana didampingi Dr. Yusuf Surachman, Kepala Pusat Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT. Kedua pejabat ini tampaknya harus ngebut untuk menjawab kritik sejumlah ahli geologi atas klaim BPPT yang dahsyat itu.

Menurut Kepala BPPT Prof. Dr. Said D. Djenie, minimal terdapat 107,5 miliar barel dan maksimai 320,79 miliar barel hidrokarbon, bahan dasar minyak, di daerah cekungan busur muka Pulau Simeulue, Aceh. Jika benar ada, potensi itu jelas raksasa. Cadangan hidrokarbon terbesar di dunia saat ini berada di Arab Saudi, sebanyak 264,21 miliar barel. Di lapangan Banyu Urip, Cepu, yang merupakan cadangan minyak terbesar Indonesia saat ini, cuma ada 450 juta barel.

Said menjelaskan, akhir 2006, BPPT mengirim informasi itu ke Departemen Energi dan Mineral, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan. “Pemerintah harus melakukan pengamanan agar lokasi ini dikuasai negara,” kata Said, yang mensinyalir awal bulan lalu kapal survei investor asing di bidang perminyakan berada di lokasi itu.

Maka, temuan BPPT itu pun menghiasi halaman muka sejumlah koran. Maklum, dengan minyak sebesar itu, sebagian masalah ekonomi yang selama ini melilit Indonesia bakal teratasi. Temuan itu juga menjadi menarik karena selama ini eksplorasi minyak dan gas di Indonesia berada di daerah busur belakang (lihat peta). Artinya, daerah cekungan busur muka lainnya seperti Bengkulu, Banten, Lombok, dan Laut Sulawesi juga ada kemungkinan kaya akan hidrokarbon.

Sejumlah ahli geologi dan pengeboran menganggap klaim BPPT itu terlalu dini. Mereka khawatir informasi yang dikeluarkan BPPT seperti kasus Busang yang meledak pada 1997. Ketika itu, perusahaan Bre-X mengklaim menemukan cadangan emas 6.200 ton di Busang, Kalimantan. Harga saham perusahaan Kanada ini pun melambung. Nyatanya, dari hasil penyelidikan, sampel yang diambil itu palsu.

Awang Harun Satyana, ahli geologi di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), mengibaratkan BPPT baru melihat bagian luar rumah, tapi seolah sudah tahu isi di dalamnya. “Padahal mereka belum tahu barang apa yang ada di dalamnya,” katanya. Menurut Awang, banyak perusahaan tertipu oleh adanya bright spot atau tampilan data seismik yang lebih terang dari daerah sekitarnya. Pernah ada perusahaan yang mengebor di laut dalam Selat Makassar berdasarkan data semacam itu, ternyata tidak menemukan minyak atau gas.

Kelemahan lain yang dilihat Awang menyangkut lintasan survei seismik yang terlalu panjang dan cara perhitungan kasar. Menurut dia, data prospek bisa diperoleh oleh survei seismik dengan jarak rapat, di bawah lima kilometer. Sementara data BPPT diperoleh dari survei dengan jarak lintasan 60 kilometer.

Awang menyarankan BPPT melaku¬kan survei lebih lanjut, antara lain penelitian tentang gaya berat dan magnetik guna mengetahui konfigurasi cekungan. Lalu survei seismik dua dimensi dengan kerapatan antara 5 sampai 10 kilometer. Setelah itu dilakukan analisis kemungkinan keberadaan hidrokarbon. “Jika dari kajian ini positif, baru dilakukan pengeboran,” ujarnya.

Konsultan geologi Andang Bachtiar memperkirakan butuh waktu tiga tahun untuk membuktikan temuan itu. “Biayanya paling tidak tiga sampai lima juta dolar Amerika,” kata mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia ini. Sedangkan untuk sampai tahap eksplorasi, menurut dia, perlu waktu tujuh tahun.

Peneliti BPPT sendiri tidak sengaja menemukan lokasi itu. Awalnya mereka bersama Institut Geologi dan Sumber Daya Alam Jerman (BGR) melakukan studi pascagempa tsunami di Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004. Penelitian gabungan ini menggunakan kapal riset Sonne untuk mengetahui mekanisme terjadinya bencana dahsyat itu dan melihat deformasi struktur geologi di daerah busur muka perairan barat Sumatra.

Sampailah mereka ke perairan timur laut Pulau Simeulue. “Kami menemukan struktur geologi yang berasosiasi dengan keberadaan hidrokarbon,” ujar Yusuf yang menjadi koordinator peneliti dari BPPT. Struktur ini memiliki sejumlah bagian (lihat infografik) dan ketebalan sedimen mencapai 5.000 meter. Yusuf mengakui, harus ada parameter lain sehingga hidrokarbon terbentuk di struktur itu.

Dalam teori pembentukan minyak dan gas, cekungan bisa dianalogikan dengan dapur. Batuan yang mengandung karbon dapat menghasilkan minyak ketika terendapkan dan terkubur. Semakin dalam terkubur bakal semakin panas sehingga terjadi proses pematangan dari batuan induk. Memang tidak semua karbon akan dapat “dimasak” dalam dapur minyak ini.

Dari hasil analisis dan interpretasi seismik, peneliti BPPT berkesimpulan bahwa struktur jebakan geologi menyebar di cekungan Simeulue. Biasanya terumbu gamping (carbonate build up) adalah jenis struktur jebakan geologi yang diisi fluida seperti hidrokarbon, gas, atau hanya air. Di perairan barat Aceh, struktur ini terdiri dari berbagai ukuran dan terdapat pada kedalaman 500—800 meter dari dasar laut. Dasar laut perairan ini memiliki kedalaman 1.100 meter dari permukaannya.

Volume batuan penyusunan tangki dihitung berdasarkan metode seismik dua dimensi (2D). Jejeran terumbu berbentuk me1ingkar. Yusuf menghitung volumenya minimal 107,5 miliar barel dan maksimal 320,79 miliar barel. Diakui volume ini hanya merepresentasikan ruang dalam batuan atau tangki. “Jadi, belum tentu seluruhnya diisi hidrokarbon, bisa saja cuma air,” katanya.

Menurut Ir Kersam, yang sudah cukup punya banyak pengalaman melakukan pengeboran, klaim BPPT itu tidak bisa dianggap hanya pepesan kosong sampai dibuktikan. Untuk itulah Jana dan Yusuf berangkat ke Jepang untuk mengajak tim dari Negara Matahari Terbit itu bekerja sama melakukan eksplorasi. Namanya juga usaha. (TEMPO, 2 Maret 2008/ humasristek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Komentar Anda Ya !

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Elf Coupons